Oleh: Ali Osman Siregar, SH, MH
Sebenarnya Pulau Sumatera sudah memiliki atau mengoperasikan Jalan Lintas Sumatera (Trans Sumatera Highway) sejak puluhan tahun yang silam jika perkembangan politik tidak terlalu ekstrim memusuhi kubu Barat terutama Amerika Serikat dan Inggris. Setelah mendapat pengakuan kedaulatan dari Negeri Belanda bulan Desember 1949, banyak negara-negara blok Barat dan blok Timur berhasrat membantu pembangunan di Indonesia. Beasiswa diberikan kepada mahasiswa untuk menimba pendidikan di negeri mereka termasuk latihan militer.
Sebuah majalah mingguan berita dengan nama “Gembira” terbitan “Omar Mansor ” Bandung yang terbit pertengahan tahun 1950-an mengungkapkan kabar menggembirakan.
Berita itu kecil dan nyaris seperti tidak diperhatikan. Konon kabarnya perusahaan industri mobil terbesar ketika itu yakni Ford menawarkan pembangunan jalan lintas Sumatera. Pembangunan itu dari Kutaradja (sekarang Banda Aceh) sampai Tanjung Karang – Teluk Betung (sekarang Bandar Lampung). Jalan lintas yang akan dibangun itu sesuai dengan standar jalan di Amerika. Jika proyek ini terwujud dipercaya akan memacu laju pertumbuhan ekonomi nasional.
Ford tidak meminta persyartan yang berbelit-belit.
Perusahan itu meminta agar Indonesia hanya membeli mobil merk Ford selama 30 tahun. Ford merencanakan pembangunan pabrik mobil di Indonesia. Hasyim Ning yang ketika itu dikenal sebagai “raja mobil” Indonesia tidak berani membicarakan tawaran Ford itu pada Bung Karno karena Presiden pertama itu sedang tinggi semangatnya untuk menghancurkan Kolonialisme dan Imperialisme. Dimana-mana Bung Karno berpidato dengan mengatakan, Inggris kita linggis dan Amerika kita seterika. Mobil-mobil yang lalu lalang ketika itu terutama buatan Amerika dan Inggris.
Sedangkan Jepang baru membenahi industrinya dari industri perang menjadi industri komersil. Dewasa ini sedikitnya ada 32 merk mobil dari berbagai negaranya yang lalu lalang di seluruh Indonesia. Tidak satupun yang berani menawarkan pembangunan jalan ataupun jembatan.
13 Oktober 2020