OLEH: ALDI RIDHO KURNIAWAN
Mahasiswa IAIN Langsa
Dakwah adalah kegiatan yang bersifat menyeru, mengajak dan memanggil orang untuk beriman dan taat kepada Allah Swt. Sesuai dengan garis aqidah, syariat dan akhlak Islam. Dakwah merupakan perjuangan untuk menerangkan yang ma’ruf atas yang mungkar, perjuangan menegakkan yang hak dan menghapus kebatilan. Maka, dakwah termasuk dalam kategori jihad.
Pada dasarnya kegiatan dakwah ialah proses komunikasi antara seorang da’i dengan mad’unya karena dengan komunikasi seseorang dapat menyampaikanapa yang ada dalam pikirannya dan apa yang dirasakan orang lain. Dakwah juga merupakan spirit untuk memperjuangkan nilai kebenaran kedalam jiwa manusia.
Metode dakwah penting digunakan saat proses dakwah berlangsung karena metode dakwah merupakan strategi yang menentukan keberhasilan dakwah seseorang di masyarakat.
Dengan demikian sangatlah dibutuhkan segolongan umat yang mampu mengingatkan dan mengajak kembali kepada jalan yang lebih baik. Upaya yang dilakukan dalam memperbaiki karakter jiwa manusia yang lebih baik tentu tidak dapat terlepas dari kegiatan dakwah.
Dimana dakwah adalah upaya yang dilakukan oleh seorang da’i menyampaikan nilai-nilai keislaman kepada masyarakat tanpa memandanag siapa mereka, dari suku mana, ataupun lain sebagainya.
Perkembangan masyarakat yang semakin meningkat, tuntunan yang sudah semakin beragam, membuat dakwah tidak bisa lagi dilakukan secara tradisional. Dakwah sekarang sudah berkembang menjadi satu profesi, yang menuntut skill, planning dan manajemen yang handal. Untuk itu diperlukan sekelompok orang yang secara terus menerus mengkaji, meneliti dan meningkatkan aktivitas dakwah secara profesional tersebut.
Dakwah pada hakikatnya adalah segala aktivitas dan kegiatan yang mengajak orang untuk berubah dari satu situasi yang mengandung nilai kehidupan yang bukan Islami kepada nilai kehidupan yang Islami.
Aktivitas dan kegiatan tersebut dilakukan dengan mengajak, mendorong, menyeru, tanpa tekanan, paksaan dan provokasi, dan bukan pula dengan bujukan dan rayuan pemberian sembako dan sebagainya.
Pada zaman Orde Baru, pengelolaan Keragaman Budaya nampaknya dilakukan dengan tangan besi, serta dipaksakan oleh penguasa. Itulah sebabnya mengapa dengan lengsernya Pak Harto, maka dalam era reformasi, tiba-tiba bangsa ini jadi kehilangan kendali, semua menjadi serba boleh dan serba sesukanya. Tidaklah mengherankan jika kita terlatih hanya untuk mendengarkan kepentingan diri sendiri.
Bahkan harus menuntut pemenuhan kebutuhan diri sendiri tanpa mempedulikan hak orang lain sehingga kehilangan untuk berempati, dan cenderung menggunakan bahasa kekerasan, dan yang lebih parah lagi, tidak perlu mempertanggung jawabkan apapun yang kita katakan dan yang kita lakukan.
Bahkan apapun yang dikatakan oleh penguasa, termasuk larangan untuk mencederai hak milik, bahkan hak hidup orang yang kebetulan berbeda dari kita, selalu hanya terlontar sebagai retorika sehingga secara tidak sengaja mengajarkan kepada kita untuk menjadi munafik.
Merebaknya krisis sosio-kultural dalam masyarakat dapat dilihat dalam berbagai bentuk, misalnya; disintegrasi sosial-politik yang bersumber dari euforia yang nyaris kebablasan, hilangnya kesabaran sosial dalam menghadapi sulitnya kehidupan, menyebabkan masyarakat mudah mengamuk dan melakukan berbagai tindakan anarkis, masyarakat mulai kehilangan kemampuan untuk berempati, bersopan santun, saling menghormati dan menghargai terhadap perbedaan keragaman.
Bangsa kita mulai kehilangan identitas kultural nasional dan lokal, padahal identitas nasional dan lokal sangat diperlukan untuk mewujudkan integrasi sosial, kultural dan politik masyarakat dan negara-bangsa Indonesia.
Untuk dapat mewujudkan dan mempertahankan keutuhan bangsa dan negara Indonesia yang multikultural, maka harus ada upaya yang sistematis, terprogram, terintegrasi dan berkesinambungan. Langkah strategis yang dapat dilakukan salah satunya adalah melalui penanaman pemahaman tentang multikultural segenap lapisan masyarakat, baik melalui lembaga pendidikan formal, informal maupun non-formal.
Multikulturalisme dalam agama maupun budaya merupakan keniscayaan yang tidak bisa dibantah. Orang yang mengajak agar melestarikan lingkungannya, mencintai dan menyayangi sesama manusia, saling menghargai dan menghormati, kompetisi sehat dan nilai-nilai kemanusiaan lainnya ternyata bukan hanya monopoli khutbah Sang Pastor di gereja-gereja, nasehat-nasehat mubaligh di podium, para politisi dalam kampanye pemilu atau sikap biksu dan pendeta bijak pada keyakinan dan ajaran-ajaran agama yang berbeda.
Sikap saling membela dalam mempertahankan budaya dan tradisi suatu masyarakat tidak hanya monopoli kaum primitif yang hidup di hutan nan jauh dari keramaian kota seperti suku-suku di Papua dan Kalimantan, tetapi hampir setiap masyarakat menyatu dengan budayanya berhak untuk melestarikannya.
Apalagi di era teknologi informasi sekarang, batas-batas budaya, baik secara sosiologis maupun geografi sudah sulit untuk dibatasi dan memudahkan untuk berkomunikasi baik secara langsung maupun tidak langsung. Fakta dan kenyataan ini jelas dapat menimbulkan situasi dan suasana tidak menentu bahkan membingungkan bagi sebagian orang, terutama mengandalkan mental interaksi hidupnya pada tradisi hegemoni mayoritas.
Konflik kepribadian, konflik individu maupun konflik kelompok dengan latar belakang budaya dan kepentingan yang berbeda-beda terjadi tak terelakkan. Salah satu jalan untuk menyikapinya atas kenyataan pluralitas ini adalah dengan cara dan sikap mengakui kenyataan tersebut. Kemudian saling mengenal dan bekerjasama dalam memelihara kehidupannya.
Indonesia merupakan Negara yang kaya akan etnis, suku, budaya, bahasa, dan agama. Keragaman seperti ini rawan terjadi konflik dan perpecahan. Oleh karena itu harus ada upaya yang sistematis, terprogram, terintegrasi dan berkesinambungan untuk mempertahankan keutuhan bangsa dan Negara yang multikultural.
Langkah yang dilakukan adalah penanaman pemahaman tentang multikultural pada masyarakat. Penanaman pemahaman tentang multikultural tidak bertujuan menghilangkan perbedaan, tetapi untuk menghilangkan prasangka, menimbulkan dialog dan mengenal perbedaan sehingga saling menghormati dan menghargai. Wujud dari penanaman pemahaman multikultural adalah dengan aktivitas dakwah dengan pendekatan budaya yang berpijak pada nilai-nilai universal kemanusiaan. Kita juga sebagai manusia hendaknya berupa agar membangun sebuah saling toleransi pada setiap agama maupun ras, suku, bahasa ataupun budaya, karena kita memiliki berbagai macam etnis yang saling mendukung dalam sebuah multikulturalisme sehingga dapat menjalani hidup berdampingan dalam satu bangsa. Dalam berupaya agar tidak terjadinya luntur nya dakwah di dalam kalangan masyarakat, metode yang di lakukan yaitu dengan mengajak dan memberikan nasihat kepada masyarakat atau pun pemuda pemuda bagi penerus dakwah islam agar tidak terjadi kurang nya regenerasi sebagai pendakwah yang hebat untuk di masa yang akan datang. Di dalam masyarakat, harus tetap menjaga kebudayaan yang selama ini kita jaga dan harus mempertahankan tradisi yang sudah lama bawa oleh para leluhur budaya di masa lalu.